Bela diri pencak silat ternyata sudah mendunia. Buktinya, kini ada di mana-mana. Salah satunya di Berlin, Jerman.
Lewat Sigepi (Silat Gerakan Pilihan) Institute, pencak silat cukup
diminati warga setempat. Berikut catatan wartawan M SALSABYL A DN yang
belum lama ini menemui pendiri Sigepi, Octav Dirgantara Setiadji, di
Berlin.
CUACA Berlin malam itu (6/3) cukup membuat Octav Dirgantara Setiadji kedinginan. Meski sudah 30 tahun lebih tinggal di Jerman, Octav tetap tidak mampu menahan hawa dingin. Setelah memarkir kendaraannya di kawasan gedung daerah Rheinstrasse, pria paruh baya itu buru-buru memasuki lift besar dari besi. Terlihat seperti orangtua pada umumnya.
Namun, suasana berbeda terlihat saat dia tiba di sebuah ruangan di lantai dua. Badannya yang awalnya agak membungkuk, sedikit membusung ketika memasuki ruangan itu.
Di sana, ruangan seperti front office pada umumnya dengan meja counter dan beberapa kursi dan meja bundar. Di dinding ruangan, banyak foto-foto di masa lalu, terlihat badan pria yang kerap dipanggil Meister (bahasa Jerman untuk master atau maestro) ini masih tegap memperagakan gerakan silat. Di potret-potret tersebut banyak pula sosok orang asing yang juga mengenakan baju silat.
Belum sempat diwawancara, Octav sudah langsung duduk di komputer dan membuka internet browser.
“Ini yang saya bicarakan tadi. Yang ini video youtube ujian Sigepi. Tuh, banyak orangnya kan? Itu semua murid saya dari seluruh tempat datang. Kami juga punya Facebook. Pokoknya, dengan internet, komunikasi jadi lebih mudah,” ujarnya sambil terus membuka tautan-tautan yang ada di website resmi Sigepi Institut.
Tak lama kemudian, seorang perempuan tinggi memasuki ruangan. Melihat sosok Octav, dia langsung mendekat ke counter. Perempuan berambut cokelat itu langsung memberi salam.
Tentu saja, salam yang dilakukan adalah membungkuk dengan telapak tangan kanan di tengah dada seperti tapa. Khas salam dari orang bela diri Indonesia. Sapaan tersebut disambut Octav dengan jabatan tangan dan ciuman pipi ke pipi.
Setelah itu, murid-murid yang lain terus berdatangan dengan memperagakan salam yang sama.
“Di sini memang saya terapkan tata cara Indonesia. Mereka boleh melakukan apa saja di luar. Tapi kalau di sini, mereka diharapkan bersikap seperti seorang yang belajar pencak silat,” ujar pria yang baru ditinggal mendiang istri tahun lalu.
Tepatnya jam 18.30, tiga belas murid langsung masuk ke ruangan latihan di sebelah.
Dimulai dengan berlari, gerakan meregangkan otot, hingga gerakan umum pencak silat seperti salto dan tendangan. Setelah puas melakukan pemanasan, orang-orang tersebut langsung menyalakan musik dengan irama gendang yang khas. Musik tersebut adalah gendang pencak dari Jawa Barat.
Dari ruangan depan, Octav hanya berdiri melihat murid-muridnya latihan.
Dia mengaku memang sudah jarang melatih. Sejak beberapa tahun lalu, tanggung jawab melatih sudah diberikan kepada murid-murid.
“Mereka semua sudah bisa mengajar karena sudah banyak pengalaman. Pelatih di sini harus lama menekuni pencak silat. Ada yang sudah 15 tahun belajar pencak silat,” jelasnya.
Dari ucapan tersebut, sudah jelas bahwa perjalanan hidup Octav di Berlin bukan hal sekejap. Oktav sudah hijrah ke Jerman sejak tahun 1980.
Waktu itu, dia sudah malang melintang di dunia persilatan Indonesia. Bahkan, bakatnya dalam seni bela diri pernah menggiringnya menjadi fighting director untuk film laga di tahun 70-an.
“Kalau boleh dikatakan, saya adalah fighting director pertama di Indonesia. Karena sebelum waktu saya, kebanyakan film masih drama,” imbuh pria yang mulai belajar bela diri di Perisai Diri ini.
Sayangnya, kinerja perfilman di akhir 70-an semakin menurun. Octav pun berpikir untuk mencari peluang baru. Saat itu, dia bertemu dengan teman sekaligus mantan murid yang bekerja di Jerman. Ide gila untuk mengajar pencak silat di Jerman pun tercetus.
Niat itu rupanya didukung oleh temannya. Alhasil dengan tekad bulat, Octav meninggalkan istri dan empat anak untuk mengejar karier di Jerman.
“Pertama kali saya ke sini (Berlin, Red), saya tak tahu harus bagaimana. Jangankan pencak silat, Indonesia saja sama sekali belum dikenal waktu itu. Saya sampai harus mendapatkan mosi dari teman-teman saya agar pemerintah Jerman mengizinkan saya bekerja,” ceritanya.
Untungnya, pekerjaan Octav menjadi mudah setelah mendapat perizinan. Dia ingat, kelas pertama tempat dia mengajar ada di sekolah bela diri Jepang bernama Budokan Sportschule. Waktu itu dia menerima sekitar 60 murid.
“Setelah itu saya menjadi guru di sekolah lain. Misalnya, Randori Sportschule dan Berd Grossmann Sportschule,” jelasnya.
Namun, bukan berarti hidup Octav menjadi mudah. Secara finansial mungkin. Tapi, kerinduan pria itu kepada istri dan keempat anaknya itu sulit terbendung.
“Dua tahun saya harus sendiri. Karena saya bukan diplomat, saya tidak boleh mengajak keluarga. Tapi, konsulat Berlin akhirnya memberi saya pekerjaan. Jadi saya kerja sebagai pegawai konsulat Indonesia sekaligus guru silat. Keluarga pun akhirnya ikut pindah ke Berlin,” ujarnya.
Kehidupan tersebut terus dijalani hingga Octav memutuskan untuk mendirikan Sigepi Institut pada tahun 2011. Saat itu, Octav yang baru pensiun langsung menghabiskan lebih dari EUR 70.000 (Rp 912 juta) untuk menyewa satu flat seluas 400 meter persegi.
“Saya sempat berhutang EUR 14 ribu (182 juta) tahun lalu karena siswanya hanya 40 saja. Tapi sekarang sudah ada sekitar 150 murid sehingga seimbang dengan beban sewa saya,” ujarnya.
Ketika ditanya apakah bangga, jawaban pria dengan delapan cucu ini sedikit nyeleneh. Menjadi guru pencak silat dari bule-bule justru membikin Octav merasa miris. Sebab, orang berdarah Indonesia yang minat belajar pencak silat justru sedikit.
“Dari semua murid saya, 98 persen adalah orang asing. Sedangkan orang Indonesia tak sampai sepuluh,” ceritanya.
Padahal, warga negara Indonesia yang berdomisili di Berlin tak bisa dikatakan sedikit. Maklum, Berlin merupakan salah satu tujuan utama dari para mahasiswa atau orang yang mencari pekerjaan.
“Tapi orang yang tinggal di sini justru memilih bela diri lain. Seperti, Taekwondo. Padahal, mereka juga tahu kalau di sini ada tempat latihan Pencak Silat,” ujarnya.
Sebenarnya, lanjut dia, pernah ada saat murid Indonesia lebih banyak dari penduduk Berlin. Tepatnya, saat pertama dia mengajar pada 1980.
Saat itu, bule yang ikut belajar silat hanya 3-5 orang. Sisanya, mahasiswa Indonesia yang belajar di kota tersebut.
“Tapi, mereka akhirnya berhenti saat tahu saya kerja di kedutaan. Soalnya, waktu itu mahasiswa anti-pemerintah Soeharto. Dan sejak itu, belum pernah lagi saya punya murid Indonesia yang banyak,” ungkapnya.
Tapi, dia tak sepenuhnya menyalahkan orang-orang itu. Menurutnya, Pencak Silat juga harus menghilangkan beberapa hal-hal lama. Misalnya, pendekar silat yang akrab dengan kumis dan wajah garang.
Atau, gambaran tukang silat yang suka mencari gara-gara.
“Sekarang zamannya sudah berbeda. Orang-orang sekarang ingin belajar bela diri untuk kesehatan. Bukan untuk tarung,” ucapnya.
Hal itu terbukti selama dia mengajar silat di Berlin. Meski mendapat banyak murid, tak semua ilmu yang dimiliki oleh Octav mau diterima oleh muridnya.
“Saya ini pertama kali belajar Perisai Diri. Meski pernapasan, tapi kesannya sedikit mistis. Tapi murid saya nggak ada yang mau belajar itu,” jelasnya. (bil/jpnn/che/k1)
CUACA Berlin malam itu (6/3) cukup membuat Octav Dirgantara Setiadji kedinginan. Meski sudah 30 tahun lebih tinggal di Jerman, Octav tetap tidak mampu menahan hawa dingin. Setelah memarkir kendaraannya di kawasan gedung daerah Rheinstrasse, pria paruh baya itu buru-buru memasuki lift besar dari besi. Terlihat seperti orangtua pada umumnya.
Namun, suasana berbeda terlihat saat dia tiba di sebuah ruangan di lantai dua. Badannya yang awalnya agak membungkuk, sedikit membusung ketika memasuki ruangan itu.
Di sana, ruangan seperti front office pada umumnya dengan meja counter dan beberapa kursi dan meja bundar. Di dinding ruangan, banyak foto-foto di masa lalu, terlihat badan pria yang kerap dipanggil Meister (bahasa Jerman untuk master atau maestro) ini masih tegap memperagakan gerakan silat. Di potret-potret tersebut banyak pula sosok orang asing yang juga mengenakan baju silat.
Belum sempat diwawancara, Octav sudah langsung duduk di komputer dan membuka internet browser.
“Ini yang saya bicarakan tadi. Yang ini video youtube ujian Sigepi. Tuh, banyak orangnya kan? Itu semua murid saya dari seluruh tempat datang. Kami juga punya Facebook. Pokoknya, dengan internet, komunikasi jadi lebih mudah,” ujarnya sambil terus membuka tautan-tautan yang ada di website resmi Sigepi Institut.
Tak lama kemudian, seorang perempuan tinggi memasuki ruangan. Melihat sosok Octav, dia langsung mendekat ke counter. Perempuan berambut cokelat itu langsung memberi salam.
Tentu saja, salam yang dilakukan adalah membungkuk dengan telapak tangan kanan di tengah dada seperti tapa. Khas salam dari orang bela diri Indonesia. Sapaan tersebut disambut Octav dengan jabatan tangan dan ciuman pipi ke pipi.
Setelah itu, murid-murid yang lain terus berdatangan dengan memperagakan salam yang sama.
“Di sini memang saya terapkan tata cara Indonesia. Mereka boleh melakukan apa saja di luar. Tapi kalau di sini, mereka diharapkan bersikap seperti seorang yang belajar pencak silat,” ujar pria yang baru ditinggal mendiang istri tahun lalu.
Tepatnya jam 18.30, tiga belas murid langsung masuk ke ruangan latihan di sebelah.
Dimulai dengan berlari, gerakan meregangkan otot, hingga gerakan umum pencak silat seperti salto dan tendangan. Setelah puas melakukan pemanasan, orang-orang tersebut langsung menyalakan musik dengan irama gendang yang khas. Musik tersebut adalah gendang pencak dari Jawa Barat.
Dari ruangan depan, Octav hanya berdiri melihat murid-muridnya latihan.
Dia mengaku memang sudah jarang melatih. Sejak beberapa tahun lalu, tanggung jawab melatih sudah diberikan kepada murid-murid.
“Mereka semua sudah bisa mengajar karena sudah banyak pengalaman. Pelatih di sini harus lama menekuni pencak silat. Ada yang sudah 15 tahun belajar pencak silat,” jelasnya.
Dari ucapan tersebut, sudah jelas bahwa perjalanan hidup Octav di Berlin bukan hal sekejap. Oktav sudah hijrah ke Jerman sejak tahun 1980.
Waktu itu, dia sudah malang melintang di dunia persilatan Indonesia. Bahkan, bakatnya dalam seni bela diri pernah menggiringnya menjadi fighting director untuk film laga di tahun 70-an.
“Kalau boleh dikatakan, saya adalah fighting director pertama di Indonesia. Karena sebelum waktu saya, kebanyakan film masih drama,” imbuh pria yang mulai belajar bela diri di Perisai Diri ini.
Sayangnya, kinerja perfilman di akhir 70-an semakin menurun. Octav pun berpikir untuk mencari peluang baru. Saat itu, dia bertemu dengan teman sekaligus mantan murid yang bekerja di Jerman. Ide gila untuk mengajar pencak silat di Jerman pun tercetus.
Niat itu rupanya didukung oleh temannya. Alhasil dengan tekad bulat, Octav meninggalkan istri dan empat anak untuk mengejar karier di Jerman.
“Pertama kali saya ke sini (Berlin, Red), saya tak tahu harus bagaimana. Jangankan pencak silat, Indonesia saja sama sekali belum dikenal waktu itu. Saya sampai harus mendapatkan mosi dari teman-teman saya agar pemerintah Jerman mengizinkan saya bekerja,” ceritanya.
Untungnya, pekerjaan Octav menjadi mudah setelah mendapat perizinan. Dia ingat, kelas pertama tempat dia mengajar ada di sekolah bela diri Jepang bernama Budokan Sportschule. Waktu itu dia menerima sekitar 60 murid.
“Setelah itu saya menjadi guru di sekolah lain. Misalnya, Randori Sportschule dan Berd Grossmann Sportschule,” jelasnya.
Namun, bukan berarti hidup Octav menjadi mudah. Secara finansial mungkin. Tapi, kerinduan pria itu kepada istri dan keempat anaknya itu sulit terbendung.
“Dua tahun saya harus sendiri. Karena saya bukan diplomat, saya tidak boleh mengajak keluarga. Tapi, konsulat Berlin akhirnya memberi saya pekerjaan. Jadi saya kerja sebagai pegawai konsulat Indonesia sekaligus guru silat. Keluarga pun akhirnya ikut pindah ke Berlin,” ujarnya.
Kehidupan tersebut terus dijalani hingga Octav memutuskan untuk mendirikan Sigepi Institut pada tahun 2011. Saat itu, Octav yang baru pensiun langsung menghabiskan lebih dari EUR 70.000 (Rp 912 juta) untuk menyewa satu flat seluas 400 meter persegi.
“Saya sempat berhutang EUR 14 ribu (182 juta) tahun lalu karena siswanya hanya 40 saja. Tapi sekarang sudah ada sekitar 150 murid sehingga seimbang dengan beban sewa saya,” ujarnya.
Ketika ditanya apakah bangga, jawaban pria dengan delapan cucu ini sedikit nyeleneh. Menjadi guru pencak silat dari bule-bule justru membikin Octav merasa miris. Sebab, orang berdarah Indonesia yang minat belajar pencak silat justru sedikit.
“Dari semua murid saya, 98 persen adalah orang asing. Sedangkan orang Indonesia tak sampai sepuluh,” ceritanya.
Padahal, warga negara Indonesia yang berdomisili di Berlin tak bisa dikatakan sedikit. Maklum, Berlin merupakan salah satu tujuan utama dari para mahasiswa atau orang yang mencari pekerjaan.
“Tapi orang yang tinggal di sini justru memilih bela diri lain. Seperti, Taekwondo. Padahal, mereka juga tahu kalau di sini ada tempat latihan Pencak Silat,” ujarnya.
Sebenarnya, lanjut dia, pernah ada saat murid Indonesia lebih banyak dari penduduk Berlin. Tepatnya, saat pertama dia mengajar pada 1980.
Saat itu, bule yang ikut belajar silat hanya 3-5 orang. Sisanya, mahasiswa Indonesia yang belajar di kota tersebut.
“Tapi, mereka akhirnya berhenti saat tahu saya kerja di kedutaan. Soalnya, waktu itu mahasiswa anti-pemerintah Soeharto. Dan sejak itu, belum pernah lagi saya punya murid Indonesia yang banyak,” ungkapnya.
Tapi, dia tak sepenuhnya menyalahkan orang-orang itu. Menurutnya, Pencak Silat juga harus menghilangkan beberapa hal-hal lama. Misalnya, pendekar silat yang akrab dengan kumis dan wajah garang.
Atau, gambaran tukang silat yang suka mencari gara-gara.
“Sekarang zamannya sudah berbeda. Orang-orang sekarang ingin belajar bela diri untuk kesehatan. Bukan untuk tarung,” ucapnya.
Hal itu terbukti selama dia mengajar silat di Berlin. Meski mendapat banyak murid, tak semua ilmu yang dimiliki oleh Octav mau diterima oleh muridnya.
“Saya ini pertama kali belajar Perisai Diri. Meski pernapasan, tapi kesannya sedikit mistis. Tapi murid saya nggak ada yang mau belajar itu,” jelasnya. (bil/jpnn/che/k1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar