
JUMAT malam pada Juni 2012 bakal menjadi titik waktu yang sulit dilupakan Yanuar Nugroho. Saat itu sebuah pesan elektronik dari Universitas Manchester, Inggris, tempatnya bekerja sejak 2007, masuk di akun e-mail-nya.
Isinya mengabarkan bahwa pria kelahiran Solo, Januari 1972, itu resmi
dipromosikan sebagai senior lecturer di kampusnya. Sebuah posisi yang
sudah termasuk tinggi dan terhormat di dunia akademis Inggris. Sebab,
jabatan itu dua tingkat di bawah full professor. Apalagi, institusi
pendidikan yang mengeluarkannya adalah universitas yang masuk daftar 50
perguruan tinggi terbaik dunia versi Times Higher Education edisi
terakhir (2012).
Berselang empat hari kemudian, Ketua Unit
Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4)
Kuntoro Mangkusubroto mengundang Yanuar untuk bertemu. Pertemuan dihelat
di Kantor UKP4 di Jalan Veteran 3, Jakarta Pusat. Kebetulan saat itu
Yanuar mudik.
Dalam pertemuan itulah, peneliti dan pengajar
yang mendapat predikat akademisi terbaik se-Universitas Manchester pada
2009 tersebut ditawari pemerintah Indonesia untuk pulang. Lewat Kuntoro,
dia diminta bergabung di institusi yang bertanggung jawab langsung
kepada presiden tersebut sebagai asisten ahli kepala UKP4.
"Saya
ingin Mas Yanuar pulang ke Indonesia. Yang saya tawarkan bukan gaji,
bukan fasilitas, tapi kesempatan untuk berbakti kepada negara ini lebih
konkret," kata Yanuar, menirukan tawaran Kuntoro waktu itu.
Ajakan to the point dari mantan menteri pertambangan tersebut akhirnya
memaksa Yanuar untuk mempertimbangkan masak-masak. Dia sempat bingung.
Menurut dia, keduanya sama-sama menarik dan menjanjikan.
Setelah melalui proses panjang, terutama diskusi dengan istrinya,
Dominika Oktavira Arumdati, Yanuar dengan berat hati harus memutuskan
untuk pulang ke tanah air. "Kalau saya hanya memikirkan gaji dan uang,
tentu tidak saya ambil (ajakan Kuntoro). Kalau saya hanya memikirkan
kenyamanan hidup, tentu saya tidak akan ambil tawaran Pak Kun (Kuntoro,
Red)," kisahnya.
Ada dua alasan dia sehingga akhirnya
memutuskan untuk balik ke tanah air. Selain sudah lama menyimpan
keinginan pulang ke Indonesia dan mengabdikan diri untuk negara, alasan
anak jadi pertimbangan. Dia dan istrinya tidak ingin dua anak mereka,
Diandra Aruna Mahira, 8, dan Linggar Nara Sindhunata, 5, tumbuh dan
besar di negara asing sehingga tidak pernah secara utuh merasa sebagai
anak Indonesia.
"Biarlah, agar anak-anak bisa merasakan
asyiknya mandi di kali, main lumpur di sawah, atau bermain dengan
orang-orang di kampung," ujar Yanuar.
Menurut Yanuar, rasa
sebagai orang Indonesia tidak bisa hanya dilihat dari jauh. "Ibarat
untuk mengetahui rasa teh, tidak bisa hanya dilihat, tapi harus dicecap
atau diteguk secara langsung," kata pria bertubuh besar itu sambil
menyeruput secangkir teh di depannya.
Kondisi ekonomi keluarga
Yanuar sebagai peneliti dan pengajar tetap di Universitas Manchester
bisa dibilang sudah mapan. Gaji yang diterima bapak dua anak itu cukup
tinggi untuk ukuran Indonesia. Puluhan ribu poundsterling sudah pasti
didapat guna menunjang kehidupan layak keluarga Yanuar.
Namun,
itu bukan satu-satunya yang membuat Yanuar memutuskan untuk
meninggalkan Inggris menjadi sesuatu yang mudah. Kenyamanan hidup di
salah satu negara belahan Eropa tersebut tentu akan sulit tergantikan
ketika pindah ke Indonesia. Selain udara sejuk dan segar, sejumlah
komponen pokok kehidupan masyarakat di negara itu ditanggung penuh oleh
negara. Di antaranya terkait dengan kesehatan.
"Di Indonesia
biaya ketidakpastian ini yang masih banyak, tapi di sana (Inggris, Red)
biaya ketidakpastian sebagian besar ditanggung negara," katanya.
Meski sadar akan kondisi itu, Yanuar dan istri sudah mantap kembali ke
tanah air. Konsekuensinya, dia harus bersedia meninggalkan segala
kenyamanan yang didapat selama di Inggris. Namun, banyak yang
menyayangkan keputusan itu. Bahkan, ada yang menilai keputusan tersebut
sebagai sebuah keputusan bodoh.
"Mas Yanuar ini bagaimana, ora
akeh lho (tidak banyak, Red) Mas yang bisa menduduki posisi terhormat
di sini (Inggris, Red)," ungkapnya, menirukan respons sejumlah teman
Yanuar di Inggris.
Surat ke Universitas Manchester yang
intinya menyatakan bahwa Yanuar cs tidak bisa mengambil waktu promosi
sebagai senior lecturer lantas dikirim. Selain itu, dia menyampaikan
kabar bahwa pemerintah Indonesia telah meminta dirinya untuk pulang.
Tidak cukup itu saja, surat resmi pemerintah berkop burung garuda yang
ditandatangani Kuntoro dilayangkan secara terpisah untuk menguatkan
proposal Yanuar cs.
Pihak universitas tempat Yanuar mengajar
selama ini tidak seketika mau melepasnya. Hingga saat ini, secara formal
Yanuar masih dianggap sebagai salah seorang staf akademik Universitas
Manchester. Selama setahun, sejak resmi bergabung di UKP4 pada Oktober
2012, status Yanuar masih semacam dipinjamkan ke pemerintah Indonesia.
Mereka belum rela bila Yanuar ditarik kembali ke kampung halaman.
Niat Yanuar untuk pulang dan mengabdikan ilmu sepertinya sudah bulat.
Karena itu, dia terus melobi atasannya, Profesor Jakob Edler, agar
diperbolehkan untuk keluar dari universitas itu. Sejauh ini mulai
terlihat lampu kuning. Yanuar boleh keluar dari kampus bergengsi
tersebut.
Meski begitu, Yanuar tetap bersedia menjadi dosen
tamu (visiting professor) di Universitas Manchester. Setidaknya sekali
dalam setahun. "Terus terang saya merasa terhormat," ujarnya.
Yanuar berada di Inggris kali pertama untuk studi master pada 2000.
Kemudian, lulus dengan predikat cum laude pada 2001. Saat itu tawaran
beasiswa untuk melanjutkan program doktoral sudah langsung datang.
Namun, karena sudah terikat kontrak dengan pemberi beasiswa sebelumnya,
dia harus pulang lebih dahulu.
Baru pada 2004 Yanuar
kembali ke Inggris untuk mengambil program doktor di Universitas
Manchester. Untuk menunjang biaya hidup selama kuliah, dia terpaksa
harus bekerja. Sebab, sang istri yang diajak serta dan diharapkan bisa
membantu bekerja ternyata sedang hamil anak pertama. Selain menjadi
asisten profesor, Yanuar bekerja di sebuah toko besi untuk menambah
pendapatan. Dia menjadi petugas sekuriti.
"Sekali-sekali ikut membantu ngangkut semen. Pokoknya pekerjaan saya tidak ringan dan bikin pusing," katanya, lantas tertawa.
Aktivitas kuliah sambil bekerja itu dilakoninya setahun. Baru pada awal
2005, setelah mendapat tambahan beasiswa dari salah satu lembaga di
Swiss, kondisi keuangannya agak membaik. Meski tetap bekerja sebagai
asisten profesor, dia tidak lagi menjadi satpam di toko besi.
Melalui jalan berliku, Yanuar akhirnya bisa menyelesaikan studi dengan
baik. Bahkan, dia tercatat sebagai mahasiswa program doktoral yang lulus
tercepat. Yaitu, dalam dua tahun sepuluh bulan. "Sebelum sidang Phd,
saya sebenarnya sempat pulang, coba-coba cari pekerjaan di beberapa
perguruan tinggi di sini (Indonesia, Red)," kisahnya.
Tapi,
lanjut dia, ternyata tidak ada satu pun yang mau menerima. Beragam
alasan sempat disampaikan. Mulai alasan bukan alumnus kampus itu hingga
bidang keilmuan yang ditekuni Yanuar belum ada. "Sebenarnya sempat
kecewa juga, kok kayak gini, tapi ya sudahlah," katanya.
Di
tanah air ditolak, Yanuar justru diminati di Inggris. Sebagai lulusan
tercepat, dia langsung ditawari menjadi peneliti sekaligus pengajar di
Universitas Manchester. Bidang yang ditekuni alumnus Teknik Industri ITB
itu adalah inovasi dan perubahan sosial, dengan kajian utama mengenai
inovasi kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi dan pembangunan. Selain
tetap mengajar dan membimbing mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 sejak 2007,
Yanuar menjadi makin intensif melakukan sejumlah riset. Pada 2004 hingga
2012, lebih dari 20 riset pernah ditangani.
Sejak 2007 Yanuar
banyak menggarap kebijakan-kebijakan seputar Uni Eropa. Dia sempat
bolak-balik ke kantor Uni Eropa di Belgia. Dia dipercaya sebagai
fasilitator untuk membantu drafting kebijakan pada area pembangunan di
sana.
"Sebenarnya hati ini gimana juga ya. Saya ini orang
Indonesia, tapi kerjaannya kok mengurusi Uni Eropa, memajukan orang
Eropa," ungkapnya mengisahkan proses pergulatan batinnya selama tinggal
di Inggris.
Pada akhir 2009 Yanuar berhasil meraih capain lain
di dunia akademis yang ditekuninya. Dia mendapat penghargaan sebagai
akademisi terbaik di Manchester Business School. "Saat itu merupakan
salah satu titik balik kehidupan saya," ujarnya.
Berawal dari
penghargaan tersebut, dia kemudian didorong untuk ikut mengajukan
program di Hallsworth Fellowship. Yakni, salah satu jalur bergengsi bagi
para peneliti dunia untuk bisa mendapat fasilitas pendanaan melakukan
riset tentang apa pun. Riset yang diajukan menyangkut perspektif ekonomi
politik tentang inovasi akar rumput di Asia Tenggara.
"Pikiran saya, jika berhasil dapat ini, ini bisa jadi jalan mendekat ke
Indonesia. Saya jual-jual kecap saja saat presentasi," beber Yanuar.
Saat presentasi, dia mengatakan bahwa masa depan dunia sebenarnya bukan
di Eropa, melainkan di Asia.
Pada Juli 2010 dia tercatat
sebagai orang Asia pertama yang berhasil meraih Hallsworth Fellowship.
"Sejak saat itu, saya sudah da da dengan Uni Eropa, saya mulai banyak
bersentuhan dengan Indonesia, semakin dekat untuk pulang," imbuhnya.
Yanuar sebenarnya juga masih menyimpan keinginan lain sepulang ke tanah
air. Dia berharap tetap bisa menginjakkan satu kakinya di dunia
akademis. "Kalau ada yang menerima, saya juga ingin mengajar di sini,"
ucapnya.(*/c10/ari)