Translate

Jumat, 08 Februari 2013

Obyek Wisata Alam di Aceh Besar Bag II

Ini kelanjutan destinasi wisata di Kabupaten Aceh Besar, semoga bermanfaat untuk Anda yang ingin menghabiskan waktu luang Anda untuk berlibur

14. Museum Cut Nyak Dien

Museum Cut Nyak Dien
Berkunjung ke museum Cut Nyak Dhien, pengunjung dapat mengenang keberanian dan kepahlawanan seorang Srikandi dalam perjuangan mempertahankan tanah air dari penjajahan Belanda. Musium ini memiliki nilai – nilai sejarahm buday dan berarsitektur khas Aceh. Di dalamnya terdapat bukti dan benda – benda sejarah koleksi peninggalan Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.

Musium Cut Nyak Dhien berbentuk rumah tradisional merupakan rumah srikandi Aceh yaitu Cut Nyak Dhien. Di era perang Aceh, rumah ini sempat dibakar oleh tentara Belanda pada tahun 1893 yang kemudian dibangun kembali pada permulaan tahun 1980an dan dijadikan musium. Lokasi museum terletak di sebelah barat jalan banda Aceh Lhok Nga, di daerah pedesaan dengan hamparan sawah yang hijau, tepatnya di Desa Lampisang, Kecamatan Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar.

Cut Nyak Dhien adalah seorang pahlawan wanita Aceh yang gagah berani. Ia lahir di Lampadang tahun 1848, dan menikah pada usia dua belas tahun. Pada tahun 1878, suami pertamanya, Ibrahim Lamnga meninggal karena tertemnak dalam sebuah pertempuran melawan Belanda. Dua tahun kemudian, seorang pria bernama Teuku Umar dating ke pihak keluarga Cut Nyak Dhien untuk melamarnya. Secara pribadi, Cut Nyak Dhien bersedia menerima lamarannya asalkan Teuku Umar menerima permohonannya, yaitu apabila menikah dengannya agar ia diizinkan ikut bersama suamionya berperang melawan Belanda. Permohonan Cut Nyak Dhien diterima Teuku Umar dan pada tahun 1880 mereka pun menikah. Sebagai seorang istri, ia setia dan selalu mendukung perjuangan suaminya.

15. Benteng Indra Patra Aceh Besar

Benteng Indra Patra
Benteng Indra Patra yang terletak di kawasan Krueng Raya, Aceh, kurang lebih 19 kilometer arah timur Banda Aceh--kian ramai dikunjungi wisatawan. Benteng peninggalan Hindu yang dibangun Sultan Iskandar Muda itu memiliki keunikan pada arsitektur bangunannya. Benteng itu juga menjadi saksi hadirnya kebudayaan selain Islam di Serambi Mekah.

Dari jejak arsitektur yang ada, Benteng Indra Patra diperkirakan dibangun pada abad ke tujuh oleh Kerajaan Lamuri. Pada awalnya, ada tiga bagian besar di benteng tersebut dan yang paling luas berukuran 70 x 70 meter dengan tinggi dinding tiga meter lebih. Sayangnya, seiring dengan perjalanan waktu, jumlah benteng itu kini hanya tersisa dua.

Bagian lain benteng adalah tempat pertahanan yang langsung menghadap ke Selat Malaka, sehingga terlihat strategis. Sedangkan di sisi lain, ada sebuah ruangan yang sangat kokoh berukuran 35 x 35 meter dan tinggi 4 meter. Bahkan, untuk mencapai ke bagian dalam benteng harus dilakukan dengan memanjat dinding. Kini Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Nasional Aceh terus merenovasi benteng tersebut.

16. Makam Laksamana Malahayati Aceh Besar

Makam Laksamana Malahayati
Makam Laksamana Malahayati berada pada bagian puncak bukit kecil. Sekeliling areal makam adalah perladangan penduduk. Pencapaian ke kompleks makam tersebut ditempuh dengan cara menaiki susunan anak tangga semen mulai dari bawah bukit. Areal makam dibatasi pagar tembok dengan pintu masuk berada di timur. Ada tiga makam yang berada dalam satu jirat dan dinaungi oleh satu cungkup. Jirat berbentuk persegipanjang dari semen yang dilapisi keramik putih. Ukuran tinggi jirat dari permukaan tanah sekitarnya adalah 30 cm.

Berikut adalah deskripsi makam:

- Makam I:

berada di sisi barat dilengkapi sepasang nisan tipe pipih bersayap. Bagian kaki berbentuk balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. Bagian bawah badan berhiaskan kuncup bunga teratai. Terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai di tengah badan nisan, hiasan sulur-suluran di bagian sayap nisan. Puncak nisan berbentuk atap limasan.

- Makam II:

berada di antara Makam I dan Makam III, tipe nisan pipih tanpa sayap. Kaki nisan berbentuk balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. Pada bagian bawah nisan berukirkan kuncup bunga teratai. Pada bagian tengah badan terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai dan motif garis-garis. Bahu kiri dan kanan nisan meruncing ke atas. Di atas bahu nisan terdapat dua susun mahkota teratai yang diakhiri bagian puncak berbentuk atap limasan.

- Makam III:

terletak di sisis timur dari Makam II. Ukuran nisan lebih kecil dari Makam I dan Makam II. Bentuk nisan pipih tanpa sayap. Nisan yang berada di bagian utara dan selatan telah patah. Selain nisan aslinya yang telah patah, nisan di bagian utara juga ditandai dengan batuan alam.

Laksamana Keumala Hayati atau Malahayati adalah wanita pejuang Aceh yang terkenal dalam kemiliteran pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil (1589-1604 M). Malahayati diberikan kepercayaan oleh sultan sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan di luar istana. Saat masih kanak-kanak ibunya telah meninggal dunia, dan selanjutnya diasuh oleh ayahnya sendiri bernama Laksamana Mahmudsyah (Tim, 1998:19). Malahayati kecil sering diajak ayahnya pergi dengan kapal perang. Pengenalannya dengan kehidupan laut itu kelak membentuk sifatnya yang gagah berani dalam mengarungi laut luas.

Selain berkedudukan sebagai Kepala Pengawal Istana, Malahayati juga seorang ahli politik yang mengatur diplomasi penting kerajaan. Dalam suatu peristiwa pada tanggal 21 Juni 1599, kerajaan kedatangan dua kapal Belanda, Deleeuw dan Deleeuwin dibawah pimpinan dua orang kapten kapal bersaudara, yaitu Cornelis dan Frederik de Houtman (Tim P3SKA, 1998:19). Maksud kedatangan mereka adalah untuk melakukan perjanjian dagang dan memberikan bantuan dengan meminjamkan dua kapal tersebut guna membawa pasukan Aceh untuk menaklukan Johor pada tanggal 11 September 1599. Peminjaman kapal tersebut ternyata merupakan bentuk tipu muslihat Belanda, karena ketika para prajurit kerajaan menaiki kapal, kedua kapten kapal tersebut melarangnya sehingga terjadilah bentrokan yang tak terhindarkan. Dalam peristiwa itu banyak dari pihak Belanda tewas, kedua kaptennya ditangkap oleh pasukan Aceh yang dipimpin oleh Malahayati. Karena kecakapannya itulah kemudian sultan mengangkatnya menjadi Laksamana. Selanjutnya atas izin sultan dan inisiatif dari Laksamana Malahayati, dibentuk sebuah pasukan yang terdiri dari para janda yang ditinggalkan oleh suaminya karena gugur dalam perang. Pasukan itu bernama Inong Balee di bawah pimpinan Laksamana Malahayati sendiri. Markas pasukan ini berada di Lam Kuta, Krueng Raya Kabupaten Aceh Besar (Tim P3SKA, 1998 :14). Salah satu jejak perjuangan yang masih tersisa hingga kini adalah kompleks makam Malahayati yang berada di puncak bukit dan sebuah benteng yang disebut Benteng Inong Balee di tepi pantai Selat Malaka, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

17. Perpustakaan Kuno Tanoh Abee Aceh Besar

Perpustakaan Kuno Tanoh Abee
Perpustakaan ini merupakan tempat penyimpanan buku-buku dan catatan peninggalan ulama-ulama Aceh zaman dahulu, yang ditulis dalam bahasa Arab. Judul buku yang telah ditulis ini sebanyak 3.000 sampai dengan 4000 judul, yang kesemuanya itu ditulis tangan, yaitu ilmu pengetahuan tentang Islam, Sejarah dan kebudayaan Aceh dari abad 16 hingga 19 M. Perpustakaan Tanoh Abee terletak di dalam kompleks Pesantren Tanoh Abee yang didirikan oleh keluarga Fairus yang mencapai klimaks kejayaannya pada masa pimpinan Syekh Abdul Wahab yang terkenal dengan sebutan Teungku Chik Tanoh Abee.

Beliau meninggal pada tahun 1894 dan dimakamkan di Tanoh Abee. Pengumpukan naskah (manuskrip) Dayah Tanoh Abee telah dimulai sejak Syekh Abdul Rahim, kakek dari Syekh Abdul Wahab. Naskah yang terakhir ditulis pada masa Syekh Muhammad Sa’id, anak Syekh Abdul Wahab yang meninggal dunia pada tahun 1901 di Banda Aceh, dalam tahanan Belanda. Perpustakaan ini banyak dikunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara.

lokasi atau tempat perpustakaan ini adalah di Desa Tanoh Abee, Kecamatan Seulimeum, Kabupaten Aceh Besar, Jarak tempuh sekitar 42 km dari Kota Banda Aceh.
adapun cara anda menuju lokasi adalah menggunakan mobil pribadi ataupun sepeda motor, karena tidak ada angkutan umum untuk menuju objek wisata ini.

18. Masjid Tua Indra Puri

Masjid Tua Indra Puri
Masjid ini dibina pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Beliau lahir pada tahun 1590 Masihi dan memerintah Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1607 sehinggalah meninggal dunia pada tahun 1636. Masjid ini dibina di atas sebuah candi (kuil) Hindu yang telah dibina pada masa Kerajaan Indrapuri

Masjid Indrapuri berada di Desa Pekuan Indrapuri, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Menurut Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan BP3 Aceh, Dahlia, masjid berkonstruksi kayu ini didirikan di atas reruntuhan bangunan benteng yang diperkirakan bekas peninggalan Hindu yang pernah dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan di masa pendudukan Portugis dan Belanda.

Nah itulah destinasi wisata dikawasan Kabupaten Aceh Besar. Ini semua hanya sebagian dari wisata di Aceh Besar masih banyak lagi tempat wisata yang harus Anda kunjungi dikawasan ini. Semoga ini bermanfaat untuk Anda yang ingin menghabiskan waktu liburan Anda di tempat-tempat tersebut.
                                            




Tidak ada komentar:

Posting Komentar